Seribu Burung Kertas

Sewaktu boy dan girl baru pacaran, boy melipat 1000 burung kertas buat girl, menggantungkannya di dlm kamar girl. Boy mengatakan, 1000 burung kertas itu menandakan 1000 ketulusan hatinya. Waktu itu, girl dan boy setiap detik selalu merasakan betapa indahnya cinta mereka b’dua….

Tetapi pada suatu saat, girl mulai menjauhi boy. Girl memutuskan untuk menikah dan pergi ke Perancis, ke Paris tempat yang dia impikan di dalam mimpinya berkali2 itu!!

Sewaktu girl mau mutusin boy, girl bilang sama boy, kita harus melihat dunia ini dengan pandangan yang dewasa….. Menikah bagi cewek adalah kehidupan kedua kalinya!! Aku harus bisa memegang kesempatan ini dengan baik. Kamu terlalu miskin, sungguh aku tidak berani membayangkan bagaimana kehidupan kita setelah menikah…!!

Setelah Girl pergi ke Perancis, Boy bekerja keras, dia pernah menjual koran, menjadi karyawan sementara, bisnis kecil, setiap pekerjaan dia kerjakan dengan sangat baik dan tekun.

Sudah lewat beberapa tahun… Karena pertolongan teman dan kerja kerasnya,
akhirnya dia mempunyai sebuah perusahaan. Dia sudah kaya, tetapi hatinya masih tertuju pada Girl, dia masih tidak dapat melupakannya.

Pada suatu hari, waktu itu hujan, Boy dari mobilnya melihat sepasang orang tua berjalan sangat pelan di depan. Dia mengenali mereka, mereka adalah orang tua Girl..

Dia ingin mereka lihat kalau sekarang dia tidak hanya mempunyai mobil pribadi, tetapi juga mempunyai Vila dan perusahaan sendiri, ingin mereka tahu kalau dia bukan seorang yang miskin lagi, dia sekarang adalah seorang Bos. Boy mengendarai mobilnya sangat pelan sambil mengikuti sepasang orang tua tsb.

Hujan terus turun, tanpa henti, biarpun kedua org tua itu memakai payung, tetapi badan mereka tetap basah karena hujan.

Sewaktu mereka sampai tempat tujuan, Boy tercegang oleh apa yang ada di depan matanya, itu adalah tempat pemakaman. Dia melihat di atas papan nisan Girl tersenyum sangat manis terhadapnya.

Di samping makamnya yang kecil, tergantung burung2 kertas yang dibuatkan Boy, dalam hujan burung2 kertas itu terlihat begitu hidup.

Org tua Girl memberitahu Boy, Girl tidak pergi ke paris, Girl terserang kanker, Girl pergi ke surga. Girl ingin Boy menjadi orang, mempunyai keluarga yang harmonis, maka dengan terpaksa berbuat demikian terhadap Boy dulu. Girl bilang dia sangat mengerti Boy, dia percaya kalau Boy pasti akan berhasil.

Girl mengatakan, kalau pada suatu hari Boy akan datang ke makamnya dan berharap dia membawakan beberapa burung kertas buatnya lagi.
Boy langsung berlutut, berlutut di depan makam Girl, menangis dengan begitu sedihnya. Hujan pada hari Ching Ming itu terasa tidak akan berhenti, membasahi sekujur tubuh Boy.

Boy teringat senyum manis Girl yang begitu manis dan polos, mengingat
semua itu, hatinya mulai bertabur kesedihan…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kebesaran Jiwa seorang Ibu

Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan, Dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan electronic.

Ada seorang pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewe2 yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah di promosikan ke posisi manager. Gaji-nya pun lumayan.

Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor. Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman2 kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewe2 jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.

Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul2 seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting. Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be.

Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan rutin layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu2-nya A be. Namun A be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya. Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. “Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan.” jawab A be.

Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja Ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali).

Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan dirumah. Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari Ibunya, A be melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun.

Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A be menetes keluar tanpa bisa di bendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. ” Yang sudah-sudah nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi”.

Setelah ibunya sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja kesupermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek. Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam media cetak dan elektronik.

Teman2 yang masih punya Ibu (Mama atau Mami) di rumah, biar bagaimanapun kondisinya, segera bersujud di hadapannya. Selagi masih ada waktu. Jangan sia-sia kan budi jasa ibu selama ini yang merawat dan membesarkan kita tanpa pamrih. kasih seorang ibu sungguh mulia.

Sumber : http://www.kaskus.us/showpost.php?p=161466186&postcount=125

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hidup adalah Pilihan

Ada 2 buah bibit tanaman yang terhampar di sebuah ladang yang subur. Bibit yang pertama berkata, "Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakkan akarku dalam-dalam di tanah ini, dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah ini. Aku ingin membentangkan semua tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari, dan kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku."

Dan bibit itu tumbuh, makin menjulang.

Bibit yang kedua bergumam. "Aku takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah disana sangat gelap? Dan jika kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak.

Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya? Dan pasti, jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman."

Dan bibit itupun menunggu, dalam kesendirian.

Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang kedua tadi, dan mencaploknya segera.

Renungan :

Memang, selalu saja ada pilihan dalam hidup. Selalu saja ada lakon-lakon yang harus kita jalani. Namun, seringkali kita berada dalam kepesimisan, kengerian, keraguan, dan kebimbangan-kebimbangan yang kita ciptakan sendiri. Kita kerap terbuai dengan alasan-alasan untuk tak mau melangkah, tak mau menatap hidup. Karena hidup adalah pilihan, maka, hadapilah itu dengan gagah. Dan karena hidup adalah pilihan, maka, pilihlah dengan bijak.

Sumber : http://www.kaskus.us/showpost.php?p=161466573&postcount=126

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kekayaan,Kesuksesan Dan Kasih Sayang

Suatu ketika, ada seorang wanita yang kembali pulang ke rumah, dan ia melihat ada 3 orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan. Wanita itu tidak mengenal mereka semua.

Wanita itu berkata: “Aku tidak mengenal Anda, tapi aku yakin Anda semua pasti sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku pasti punya sesuatu untuk mengganjal perut”. Pria berjanggut itu lalu balik bertanya, “Apakah suamimu sudah pulang?” Wanita itu menjawab, “Belum, dia sedang keluar”. “Oh kalau begitu, kami tak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suamimu kembali”, kata pria itu.

Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang isteri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada istrinya, “Sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam ini”. Wanita itu kemudian keluar dan mengundang mereka untuk masuk ke dalam.

“Maaf, kami semua tak bisa masuk bersama sama”, kata pria itu hampir bersamaan. “Lho, kenapa? tanya wanita itu karena merasa heran. Salah seseorang pria itu berkata, “Nama dia Kekayaan,” katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut di sebelahnya, “sedangkan yang ini bernama Kesuksesan, sambil memegang bahu pria berjanggut lainnya. Sedangkan aku sendiri bernama Kasih Sayang. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa diantara kami yang boleh masuk ke rumahmu.”

Wanita itu kembali masuk kedalam, dan memberitahu pesan pria di luar. Suaminya pun merasa heran. “Ohho… menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk ke dalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan.”

Istrinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, “Sayangku, kenapa kita tak mengundang si Kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia untuk membantu keberhasilan panen ladang pertanian kita.”

Ternyata, anak mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah. “Bukankah lebih baik jika kita mengajak si Kasih Sayang yang masuk ke dalam? Rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan Kasih Sayang.”

Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka. “Baiklah, ajak masuk si Kasih Sayang ini ke dalam. Dan malam ini, Si Kasih Sayang menjadi teman santap malam kita.” Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 pria itu. “Siapa diantara Anda yang bernama Kasih Sayang? Ayo, silahkan masuk, Anda menjadi tamu kita malam ini.”

Si Kasih Sayang bangkit, dan berjalan menuju beranda rumah. Ohho.. ternyata, kedua pria berjanggut lainnya pun ikut serta. Karena merasa ganjil, wanita itu bertanya kepada si Kekayaan dan si Kesuksesan. “Aku hanya mengundang si Kasih Sayang yang masuk ke dalam, tapi kenapa kamu ikut juga?” Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan. “Kalau Anda mengundang si Kekayaan, atau si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar.

Namun, karena Anda mengundang si Kasih Sayang, maka kemana pun Kasih Sayang pergi, kami akan ikut selalu bersamanya. Dimana ada Kasih Sayang, maka Kekayaan dan Kesuksesan juga akan ikut serta.


Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami berdua ini buta. Dan hanya si Kasih Sayang yang bisa melihat. Hanya dia yang bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka, kami butuh bimbingannya saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kisah cinta seorang anak

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki,wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku,memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja.
Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya
membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun
melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya
menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga
Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan
membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa
stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu
melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu
menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun, Sam meninggal
dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi
semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk.

Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya
tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar
hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak
kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia
Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat
buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah
sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah
berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah
perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi
yang mengingatnya.

Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric. Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. “Mary, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal
yang telah saya lakukan dulu.” aku menceritakannya juga dengan
terisak-isak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah
memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis
saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang.
Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari
hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya
tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric…

Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada
sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya
mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.
Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala
ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.

“Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”

Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal
dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?”
Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh tega, Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus
menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega,
saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis
setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”

Saya pun membaca tulisan di kertas itu…

“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom…”

Saya menjerit histeris membaca surat itu. “Bu, tolong katakan…
katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!
Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!”

Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric
telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya
sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan
di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut
apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya
ada di dalam sana… Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari
belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang
lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana.”

Sumber : http://www.kaskus.us/showpost.php?p=159443969&postcount=12

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Arti sebuah kehidupan

Rasanya ingin aku menghilang dari tempat ini. ingin aku menutup wajahku dan berlari menjauh. namun istriku terlihat begitu santai dengan ini semua. istriku sama sekali tidak mempedulikan tatapan mata mereka semua. Walaupun mereka semua adalah sahabat SMA kami dulu, namun tatapan mereka padaku telah berubah.

Wajar saja, ini adalah reuni SMA kami setelah dua puluh tahun. Sahabatku semua sudah berubah. Aku dan istriku adalah teman satu angkatan dulu. Jadi kami berdua menghadiri reunian ini dan berharap bisa bernostalgia dengan masa-masa SMA dulu. Namun semua berbeda dari apa yang aku harapkan.

"Re, apa kabarmu?, dimana kau bekerja?" kata Ginda seraya menepuk bahuku.

"em, aku melanjutkan sawah ayahku" kataku.

"hahaha. Hebat. Kalau begitu kau harus konsultasi dengan Tomi. Dia itu sarjana pertanian." Kata ginda terlihat bersemangat menunjuk tomi.

"……." Aku diam.

"dengar-dengar dia ingin mengambil gelar doktor di jurusan itu. Yaah, mungkin tidak ingin kalah dariku. hahaha" kata ginda melanjutkan. Aku semakin membisu.

Mengapa mereka semua membicarakan hal-hal seperti ini?. Aku pikir reuni ini untuk mengenang kembali masa-masa dulu. Aku pikir reuni ini untuk melepaskan rasa rindu pada kenangan masa dulu. Mengapa mereka membicarakan sesuatu yang sama sekali tidak aku mengerti?. Mengapa aku merasa terasing disini?.

Ruangan ini terlalu dipenuhi oleh kemewahan. Masing-masing sahabatku telah menjadi orang yang sukses. Sementara aku dan istriku hanyalah dua orang dari keluarga yang sederhana. Kami berdua menikah setelah lulus SMA dan tidak melanjutkan pendidikan seperti sahabat-sahabatku yang lain.

Aku memperhatikan wajah istriku dari kejauhan. Wajahnya ceria, sama seperti dua puluh tahun yang lalu. Mengapa aku tidak bisa seperti dia?, ceria dan percaya diri menghadapi teman-temanku. Apakah karena aku memperhatikan baju istriku yang mulai terlihat kusam. Itu adalah satu-satunya baju yang bagus miliknya. Itu aku belikan dua tahun yang lalu saat lebaran tiba.

Semakin minder aku melihat teman-teman wanitanya yang kini terlihat modis dan anggun dengan perhiasan yang melingkar di jemari dan tangan mereka. Sementara istriku hanya memiliki satu cincin emas yang aku belikan saat pernikahan dua puluh tahun yang lalu. Melihatnya jilbabnya yang kusam, ingin rasanya aku menangis.

Aku berjalan mendekatinya dengan gemetar. Aku akan mengajaknya pergi dari ruangan yang membuat aku sesak ini. Aku merasa telah gagal menjadi suami yang bisa memberikan kebahagiaan padanya. Aku harus mengajaknya pergi sebelum dia menyadari, hanya kami berdua yang terlihat kumuh disini.

"April, lihatlah ini. Pacarku membelikan tas ini saat dia pulang dari Perancis. Kau tahu?. Harganya ini sama dengan seratus tas biasa disini." Kata Ellen berbicara pada istriku. "ohh, kau Rengga kan?, kau suami April kan?" tanya Ellen.

"iya" jawabku singkat. Aku kemudian menatap April dan menggangukkan kepala mengajaknya pergi. Tapi April, Istriku hanya tersenyum. Dia lalu melanjutkan perbincangannya dengan Ellen.

"iya len, tasmu bagus" kata istriku sambil tersenyum.

"Gimana, kamu ingin membeli tas yang seperti ini?" tanya Ellen menggebu.

"hehe, Nggak usah. Tasku ini sudah cukup mewah" kata istriku.

"mewah?, itukan hanya tas yang harganya biasa?" tanya Ellen meremehkan.

"mungkin tak berharga, tapi nilainya untukku sangat berarti" kata istriku.

"Nilai?" tanya Ellen bingung.

"Benar. Ini adalah hadiah pernikahan yang diberikan suamiku. Dan nilainya tidak bisa di beli oleh uang berapapun." Kata Istriku seraya memeluk lenganku. April diam seribu bahasa, lalu berlalu pergi dengan senyuman sinis.

Dadaku bergetar hebat. Aku merasakan bahagia dan haru dalam waktu yang sama. membuatku merasa lebih kuat dan lebih berani jauh dari sebelumnya. Aku merasa sangat bangga dan percaya diri kembali. Kemudian Kami mengikuti acara reunian ini sampai akhir.

***

Saat kami berpisah dengan sahabatku, aku bisa tersenyum seperti dulu. Meski mereka pulang dengan kendaraan mewah, aku tak peduli. Lalu di dalam angkot menuju pulang kerumah, aku bertanya pada istriku.

"kamu serius waktu tadi bicara pada Ellen?" tanyaku.

"tentu saja sayangku. Didunia ini ada hal yang berharga yang mampu dibeli oleh mereka yang punya uang. Namun hal-hal yang bernilai tidak semua orang mampu memilikinya." Kata dia sambil tersenyum.

Aku memegang tangannya. Dia bersandar dibahuku sambil menikmati pemandangan lewat kaca angkot yang buram. Saat ini aku benar-benar bahagia. Namun aku juga berjanji akan berusaha lebih keras lagi untuk membuat istriku ini bahagia. Aku berjanji akan mengisi kehidupanya dengan hal-hal yang jauh lebih bernilai dan berharga.

Aku lama memperhatikan wajahnya yang cantik. Ku eratkan genggaman tanganku. aku meneteskan bulir air mata bahagia. Lalu aku berkata dalam hati
"ya tuhan, terimakasih kau telah mengizinkan aku menjadi pendamping wanita yang sederhana ini. Sungguh, aku benar-benar mencintai wanita ini."
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mereka ada dijalan

Mentari beranjak ke arah barat, sholat ashar kutunaikan sudah. Kuambil segelas air dari dispenser yang ada di ruang makan. Kulihat jam di dinding, tepat setengah empat. Tak lama setelah gelas kutaruh kembali ke meja makan terdengar suara dari luar. “Jo! Joan! Main bola yuk!”. Dengan sedikit berlari aku menuju pintu depan rumah. Ah, teman-teman kampung. “Tunggu sebentar, aku ganti sarung dulu.”, jawabku.

Tak lebih dari semenit aku keluar dengan seragam kebesaranku, kaos Persebaya Surabaya dan celana training warna pink. Perduli amat, tinggal ini yang ada di lemari pakaianku. Maklum, belum sempat nyuci baju. Kukeluarkan sepeda kesayanganku, berpamitan dengan Ibu yang sedang masak di dapur dan plas…

Hanya kurang dari lima menit, kami sudah sampai di kompleks kampus B Unair, tempat kuliah kakakku. Memang, kompleks ini menjadi tempat favorit, kalau tidak bisa dikatakan sebagai satu-satunya tempat, bagi kami melewatkan hampir tiap sore dengan bermain bola.

Satu-persatu lapangan kami susuri. Parkiran fakultas ekonomi sudah ditempati, hukum sudah, psikologi sudah, sastra sudah, fisip sudah, rektorat sudah. Nah ini dia, lapangan parkir sebelah Masjid An-Nur, masjid kampus, masih kosong. “Di sini saja ya.”, Diaz coba menawarkan pada kami.

Tak lama kemudian, berbekal beberapa sandal dan sepeda yang diberdirikan terbalik, sebuah lapangan bola dadakan tercipta sudah. Lima orang lawan lima orang. Untuk kali ini aku kebagian jatah sebagai kiper. Padahal ingin sekali hari ini aku menjadi penyerang, sudah seminggu ini aku tidak mencetak gol sama sekali. Tapi apa boleh buat.

Sebuah tendangan keras lurus mengarah ke gawangku. “Plak!”, suara keras bola plastik berbenturan dengan telapak tanganku. Bola mampu kutepis ke samping kiri gawang. “Nggak gol ye…, tendangan cemen”, ejekku. Seketika itu pula Amad, sang penendang bola, mendatangiku dan menjitak kepalaku sambil berkata, “Ngece…”. Kami pun tertawa.

“Plak!”, untuk kali ini bukan tanganku yang mampu menepis bola, tetapi mukaku satu-satunya menjadi korban keganasan tendangan keras Diaz. Panas rasanya. Seketika itu pula mukaku menjadi merah padam. Teman-temanpun mengerubungiku, menyaksikan tubuhku yang masih terkapar di beton parkiran. Untuk beberapa saat memang mataku berkunang-kunang, kepalaku terasa pusing. Kurang lebih setengah menit kemudian, aku terbangun. Sambil meringis menahan panas mukaku kucari Diaz. “Anarkhis!”, hanya itu yang aku ucapkan pada Diaz.

“Panas ya, mas…”, ucap Amad.

“Whoa…, balas dendam ceritanya. Ngece…”

“Makanya jangan sok jagoan.”, timpal Diaz.

“Afwan deh. Tadi khilaf.”

“Ya sudah. Kita istirahat dulu sebentar.”, Amad coba menawarkan.

Kita pun beristirahat sejenak, kurang lebih selama lima menit. Sampai suatu ketika, beberapa mobil terlihat berjalan ke arah kami. Ups! Hari apa ini. Ya benar, sekarang hari kamis. Memang seperti yang pernah kakakku katakan, tiap kamis sore minggu pertama ada pengajian ibu-ibu dan remaja putri di masjid kampus. Kakakku Lina memang semenjak semester satu menjadi aktivis masjid kampus.

Itu dia, berdiri di selasar sebelah utara masjid, memakai kerudung dan baju terusan berwarna merah muda. Sesuai dengan kulitnya yang coklat terang. Tak heran kalau banyak laki-laki, atau lebih tepatnya mereka lebih senang disebut dengan ikhwan, yang menyukainya. Wajahnya yang berbentuk oval dengan dagu meruncing dan hidung yang agak mancung merupakan sebuah kombinasi yang sangat pas. Dalam hati aku berjanji, aku tak akan segan-segan menghadang setiap laki-laki yang berani mengganggunya. Maklum, kami hanya dua bersaudara.

“Waduh rek. Sore ini bakal ada pengajian, jadinya parkiran bakal dipake. Pindah yuk.”, pintaku pada teman-teman. Sekonyong-konyong kami membereskan lapangan dadakan kami.

Ah, mana lagi tempat kosong. Oh ya, lapangan basket belakang fakultas psikologi. Semoga belum dipakai para mahasiswa bermain basket. Alhamdulillah, masih kosong. Mekanisme standar pembuatan lapangan dadakan mulai kami laksanakan. Sandal dan sepeda yang diparkir terbalik tersusun sudah. Pertandingan dimulai. Untuk kali ini, keinginanku untuk jadi penyerang terpenuhi.

Hup! Sebuah umpan terobosan yang sangat indah disodorkan oleh Ipul. Kuteruskan dengan sebuah tendangan eksekusi khas ala Joan. Tidak begitu keras, tetapi mengarah pada titik lemah kiper. Bola menerobos selangkangan kaki Idham, yang kebetulan sore itu menjadi kiper lawan. Gol! Gol pertamaku setelah dalam penantian selama satu minggu. Aku tak mandul lagi.

Gol itu menjadi gol terakhir dari permainan kami. Tak lama kemudian satpam kampus mengusir kami dari lapangan itu. Nasib…, nasib…. Terpaksa kami pindah mencari tempat lain di luar kampus. Kami putuskan, akan kami selesaikan permainan bola sore ini di jalan depan rumah Ipul. Biar sempit, yang penting main bola jalan terus.

Akhirnya, gang depan rumah Ipul menjadi lapangan kami juga. “Jbrak!”, “Jbruk!”, “Dhuang!”, menjadi suara yang sangat lazim didengar. Hingga tanpa kami sadari sebuah motor melaju sangat kencang, menabrak sepeda yang menjadi gawang dan kemudian menabrakku. Dhuar! Kemudian gelap…

**

Yang aku tahu saat ini, aku sudah berada di rumah sakit. Berbaring di kasur dengan kaki sebelah kiri yang terbalut gips. Kata kakak, kakiku sebelah kiri patah dan harus di gips. Untuk malam ini, kakakku menemaniku di rumah sakit. Karena ibu dan ayah harus menemani nenek yang masih shock di rumah. Kata ayah dan ibu, aku ini cucu kesayangan nenek, karena perawakanku mirip kakek. Kulit coklat kehitaman mengkilat-kilat, rambut jabrik, berhidung besar dan berwajah bundar mirip bola. Sampai-sampai nenek lebih memilih tinggal dengan kita sekeluarga. He… he…

“Kak Lina…”

“Apa Dek?”

“Adek nyesel. Gak bakalan main bola lagi.”

“Nggak usah begitu. Yang penting sekarang kamu istirahat saja. Sudah malam tuh.”

“Ibu pasti marah. Pasti deh besok-besok Adek gak boleh main lagi.”

“Sudah, memang kamu itu sudah keturunan keranjingan bola. Nggak jauh beda dengan Ayah. Ntar deh, Kakak bantuin ngomong ke Ibu biar Adek boleh main bola lagi. Kalau perlu kalau sudah sembuh kakak beliin bola yang asli, biar kalian kalau main bola nggak pakai bola plastik lagi.”

“Emang Kakak punya duit? Duit darimana?”

“Kakak kan ngajar les dan ngaji privat. Lumayan lah…. Kakak seneng kok Adek suka main bola. Yang penting jangan lupa sholat, ngaji dan hapalan satu ayat tiap hari.”, Aku hanya bisa menjawabnya dengan senyuman.

“Kakak besok masih ujian kan?”

“Ah nggak papa. Ini, Kakak bawa catatan kuliah.”

“Kak, bawa radio kecil Adek nggak?”

“Bawa. Ada di tas Adek. Kakak ambilin sebentar ya…”. Kakakku beranjak dari duduknya, menuju pojok kamar. Diambilnya radio kecil dari tasku.

“Ini Dek.”

Kunyalakan radio kecil kesayanganku. Pelan-pelan terdengar suara dari radio itu…


Anak kota tak mampu beli sepatu

Anak kota tak punya tanah lapang

Sepakbola menjadi barang yang mahal

Milik mereka

Yang punya uang saja

Dan sementara kita di sini

Di jalan ini


Akupun beranjak tertidur, ditemani belaian lembut kakakku satu-satunya. Ah, dunia terkadang tak adil bagi seorang anak kecil.
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

CINTA BISU YANG BICARA

Digenggamnya jemari indah itu. Terasa kaku dan dingin. Perasaannya tiba-tiba tak enak. Sepertinya ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

Lembayung di langit sore itu terlihat muram. Awan
yang berarak suram berkejaran di atas sana. Tampak sesosok tubuh pemuda duduk terpaku di depan gundukan tanah warna merah. Wajahnya tampak mendung. Tangannya lembut menaburkan bunga di atas pekuburan itu, kemudian
menyiramnya dengan air bening.

“Semoga engkau tenang di alam sana.” Lirih
suaranya. Nafasnya terdengar berat, sepertinya sesal yang menghimpitnya begitu erat. Sorot matanya menerawang jauh ke angkasa. Gadis tertunduk. Malu. Wajahnya merona. Beberapa detik lalu pemuda pujaannya membisikkan sesuatu yang membuat hatinya melayang.
“Kau cantik sekali hari ini.”
“Ah, benarkah aku cantik? Tapi mengapa dia lebih memilih gadis lain?” Gadis itu terlihat muram. 
Namun hal itu tetap tidak mengurangi keanggunannya. Matanya yang sendu, kulit putihnya yang bersih, hidung bangirnya, bibirnya yang merekah, serta rambutnya yang hitam berkilau, mampu membuat tiap mata yang memandang enggan berpaling.

Gadis melangkah pergi. Kaki kecilnya menuju pada
satu ruang perkuliahan. Hari ini tak ada kuliah. Gadis hanya sendiri di sana. Dia duduk pada salah satu bangku di ruangan itu. Jemari lentiknya lincah memainkan pena di atas kertas.

Tempatkan aku di hatimu
Satu sudut saja dari empat bilik jantungmu
Lalu gamit aku di jiwamu
Dengan penuh kasih selalu

Tempatkan aku di ingatanmu
Satu sel saja dari ribuan sarafmu
Kan kuwarnai harimu
Dengan wangi madu

Duhai tambatan hati . . .
Akankah kau mau mengerti
Suara kalbu yang terus menggema
Sampai sukma ini lepas dari raga

Dibukanya lagi lembar demi lembar buku diary itu. Di sana sudah tertulis ratusan bait puisi yang senada.

Kristal bening dari pelupuk matanya pecah dan
butiran-butiran itu jatuh ke bumi. Pemuda dambaannya datang.

“Kau kenapa?” tanya si pemuda cemas.
“Aku... aku... tidak apa-apa,” jawab gadis itu
gugup.

“Apa kau sakit? Wajahmu pucat,”
Gadis hanya menggeleng.

“Da, kita jadi pergi tidak?”
suara nyaring dari arah pintu itu sedikit membakar api cemburu dalam dada si gadis. Diperhatikannya pemilik suara itu dengan teliti. Rambutnya lurus terurai, matanya begitu bening, dan tubuhnya sangat indah.

“Sorry, Dis, aku pergi dulu ya....”
Pemuda dambaannya melangkah keluar bersama wanita yang baru saja menghampirinya, bunyi dua pasang sepatu itu terdengar buru-buru.

“Tadi siapamu?”
“Kakak ini apa-apaan sich” jawab si pemuda sedikit malu, tapi sang kakak berhasil menangkap kilau pelangi pada bola mata pemuda itu.

“Kamu itu cowok. Tapi sama cewek nyalinya ciut. Udah, ngaku aja... mbok ya kalau suka, ngomong. Kalau menurut Kakak sich dia cocok buat kamu.”
“Tapi, Kak, dia begitu anggun. Cewek seperti itu
pasti sudah punya pacar.”
“Sudah pernah nanya belum? Atau ngeliat dia jalan bareng cowok misalnya?”
Si pemuda menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
“Kamu itu cowok yang qualified untuk dijadikan
pacar. Tampan, pintar, kaya, baik hati lagi. Masih ngerasa kurang apa lagi sich?”

“Aku masih kurang berani, Kak....” Tapi suara itu hanya terucap di hati. Si pemuda tampak rapi hari ini. Celana panjang warna krem
serta kemeja biru magenta membalut tubuh atletisnya.

Wangi parfum maskulin tercium di sekitarnya.
Di kampus biru, seseorang yang dicarinya tak ada. Padahal pemuda itu ingin mengungkapkan segala isi hatinya. Dicarinya gadis tersebut ke kos-kosan.

Tok... tok... tok....
Tak ada jawaban. Sunyi. “Gadis, di mana kau?”
Diketuk lagi pintu itu. Tapi tetap saja hening.
Wanita setengah baya keluar dari rumah sebelah.
“Nyari siapa, Mas?”
“Itu, Bu, gadis yang tinggal di sini.”
“Oh, tadi pagi dia dibawa ke rumah sakit.”
Rumah sakit! Wajah pemuda itu berubah pias. “Gadis, kau
kenapa? Sejak minggu lalu kau terlihat pucat tapi aku tidak berbuat apa-apa. Maafkan aku, Dis....”
“Di rumah sakit mana Gadis dirawat, Bu?”
Setelah mendapat informasi dari wanita itu, si pemuda buru-buru membawa motornya membelah jalan menuju rumah sakit tempat gadis berada.
Di bangsal flamboyan itu tubuh Gadis terbaring lemah.
Wajahnya sewarna kapas. Selang infus menempel pada lengan kirinya. Sedang tangan kanannya menggenggam sebuah buku.
Pemuda itu mendekati si gadis. Digenggamnya
jemari indah itu. Terasa kaku dan dingin. Perasaannya tiba-tiba tak enak. Sepertinya ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Dis, bangun! Ini aku....”
Tapi tubuh yang dipanggilnya itu diam. Mungkin gadis tertidur. Dipanggil lagi nama itu lembut. Tetap tak ada reaksi. Ketakutan dan kecemasan kini bercampur menjadi satu, keringat dingin meleleh di badan, jantung pemuda itu berdegup amat kencang.

“Dok... Dokter...!!!” teriak si pemuda.
Dokter pun datang. Diperiksanya tubuh si gadis dengan beberapa alat medis.
Dan beberapa menit kemudian....

“Bagaimana, Dok?”

Dokter itu menggeleng, kemudian berucap, “Kami hanya berusaha. Tabahkan hatimu, Nak!”
Seperti ada petir yang menyambar. Hati pemuda itu teriris, kosong, dan terpukul. Matanya kini terasa panas. Tapi sekuat tenaga dibendungnya agar telaga – bening itu tidak tumpah.
 
.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sahabat

Satu demi satu, motor yang terparkir di garasi samping rumah aku keluarkan ke teras depan. Memang hari masih pagi, teman-teman yang lain masih tertidur dengan pulasnya. Kecuali Rama yang semenjak shubuh tadi pergi untuk mengantar koran, dia memang nyambi kerja sebagai loper koran. Jam di dinding masih menjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Tak mengherankan memang, tadi malam kita begadangan sampai adzan shubuh terdengar. Entah mengapa, tiba-tiba kami berkeinginan untuk sekedar berbagi cerita. Sesuatu yang sudah mulai jarang kita lakukan. Terutama ketika berbagai macam praktikum dan laporan sudah mulai menerjang tanpa henti. Memang berbagi cerita menjadi hal yang sering kami lakukan ketika memasuki masa awal-awal kuliah.
Kami tinggal berenam di rumah kontrakan ini. Aku dan tiga temanku, Ahmad, Dzakir dan Rifai, memang sudah sahabat lama. Kami berteman semenjak masih duduk di bangku SMA. Sedangkan satu orang yang lain, Ivan, adalah teman kuliahku satu angkatan dan satunya lagi, Rama, teman kuliah dari Dzakir. Rama dan Ivan sebenarnya kami ajak tinggal di kontrakan ini hanya untuk memenuhi kuota dan memperingan biaya urunan kontrakan. Lumayan, kami mengontrak rumah mungil dengan tiga kamar ini empat juta pertahunnya. Kami sudah terhitung satu tahun lewat delapan bulan tinggal di rumah ini.

Pertama kali memang hubungan antara kami berempat dengan Ivan dan Rama kurang begitu dekat. Namun seiring berjalannya waktu, mereka berdua pun akhirnya bisa dekat dengan kami berempat. Semenjak itulah, kami berenam suka berbagi cerita.

Kami berenam kebetulan sama-sama kuliah di UGM. Aku dan Ivan kebetulan kuliah di Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas MIPA. Dzakir dan Rama kuliah di Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian. Sedangkan Ahmad kuliah di Fakultas Filsafat dan Rifai kuliah di Fakultas Hukum.

**

Tadi malam sebenarnya kejadian tersebut berlangsung mengalir. Berawal dari aku dan Ivan nonton bareng pertandingan sepakbola Liga Inggris antara Chelsea lawan Manchester United. Kebetulan aku penggemar berat Chelsea, sedangkan Ivan penggemar berat Manchester United. Agar suasana nonton jadi lebih seru, kami bertaruh kecil-kecilan. Yang menang dapat jatah dipijat oleh yang kalah. Seusai nonton, kami berdua memasak mie, yang ternyata diikuti oleh yang lainnya, kecuali oleh Rama. Memang selama beberapa hari ini, Rama terlihat murung dan suka menyendiri. Beberapa kali kami secara bergantian bertanya, namun tak satupun jawaban kami dapat.

Acara makan mie bersama akhirnya berlanjut menjadi acara curhat bersama. Mulai dari praktikum yang gagal, dosen yang galak, makanan di kantin kampus yang semakin hari semakin mahal, sampai kisah cinta Ivan yang selalu kandas sebelum sempat “proklamasi”.

Selama kami curhat, Rama memilih untuk tiduran di kamarnya. Tak bergabung dengan kami. Sampai akhirnya, Dzakir yang sekamar dengan Rama, lebih memilih tidur di karpet ruang tengah.

**

Sesuai kesepakatan tadi malam, hari ini kami berencana untuk jalan-jalan bersama ke pantai. Meskipun hari minggu, kami kesulitan untuk bisa menghabiskan hari bersama seperti ini. Kami berenam, memang punya aktifitas lain di luar kuliah. Aku, Rama, Dzakir dan Rifai memilih untuk aktif di lembaga intra kampus. Sedangkan Ivan dan Ahmad memilih aktif di lembaga ekstra kampus. Rencana dadakan jalan-jalan ke pantai hari ini saja, membuat kami harus menunda agenda masing-masing. Hari ini saja, aku sudah berjanji dengan teman-teman BEM untuk memperbaiki majalah dinding. Tak apalah, sekali-sekali kita perlu untuk sekedar menyenangkan diri sendiri.

Akhirnya pada pukul sepuluh kurang lima menit, kami berangkat menuju pantai Depok. Pantai Depok terletak di sebelah barat Pantai Parangtritis. Di Pantai Depok juga terdapat Tempat Pelelangan Ikan. Sempat kami mengajak Rama ikut serta, tetapi ia enggan untuk ikut. Rama lebih memilih tinggal di kontrakan. “Biar saya di sini saja, jaga kontrakan. Khawatir kalau ada apa-apa”, jawabnya. Dengan tiga motor kami berangkat bersama-sama.

Memang, keluarga Rama termasuk keluarga kurang mampu. Rama bisa kuliah di UGM juga karena beasiswa. Uang kirimannya sangat terbatas, bahkan untuk makan sehari-hari saja kurang. Membeli buku adalah sesuatu yang sangat istimewa baginya. Untunglah, Ivan yang orang tuanya relatif berada, mempunyai sepeda onthel yang jarang ia pakai. Sepeda tersebut akhirnya ia berikan pada Rama, karena Ivan sendiri juga membawa motor. Bagi Rama, sepeda sudah lebih dari cukup. Dengan mempunyai sepeda, ia tak perlu mengeluarkan biaya transport ke kampus. Semenjak mengetahui kondisi keluarganya, kami tak pernah lagi meminta Rama untuk ikut urunan biaya listrik dan air bulanan.

**

Sekitar pukul setengah dua belas, kami sampai di Pantai Depok. Hari ini sangat cerah. Hari ini pantai ini terlihat sangat penuh. Kami memutuskan untuk duduk-duduk terlebih dahulu di sisi barat pantai. Kurang lebih selama satu jam kami bermain-main layaknya anak kecil. Bodoh amat dengan komentar orang, yang penting hari ini memang kami gunakan untuk bersenang-senang.

Setelah kelelahan, kami memilih untuk memesan makanan di salah satu warung. Sembari makan, kami membicarakan tentang apa yang terjadi tentang Rama. Jujur saja, aku sendiri merasa risih dan kurang nyaman dengan sikap Rama akhir-akhir ini. Ternyata apa yang kurasakan tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh teman-teman yang lain.

“Beberapa hari yang lalu, sebelum tidur, aku pernah coba tanya pada Rama. Kamu kenapa? Kok kelihatannya murung dan agak pucat?”, ucap Dzakir. “Dia hanya menjawab. Nggak papa kok. Paling-paling cuma maag-ku lagi kumat. Sudahlah gak usah dipikirin. Ntar paling sembuh-sembuh sendiri. Udah ah, aku ngantuk banget.”, lanjut Dzakir.

“Aku juga pernah tanya. Tapi yang gitu itu. Dia nggak ngomong apa-apa. Ditanya baik-baik, eh … dia malah mlengos. Kalau bukan temen sendiri udah aku damprat.”, tambah Ivan.

“Kelihatannya dia punya masalah. Tapi nggak mau ngomong ke kita. Mungkin dia minder atau sudah merasa nggak enak dulu sama kita. Kan semenjak kita tahu kondisi keuangannya, kita nggak pernah minta ke dia uang urunan listrik dan air.”, komentar Ahmad.

“Ya nggak bisa gitu, dong. Temen, ya temen. Kita kan sudah seperti keluarga sendiri. Kalau ada masalah, ya ngomong. Siapa tahu kita bisa bantu. Kayak sama orang lain saja.”, keluh Rifai. “Aku dulu pas waktu nabrak Reta, kan juga ngomong sama kalian. Akhirnya kita urunan untuk biaya rumah sakit Reta.”, tambah Rifai.

“Iya. Tapi kamu untung, kita-kita yang buntung. Kamu yang nabrak orang, kita yang ikutan kena getahnya. Udah gitu, yang ditabrak malah kamu jadiin pacar. Mrongos kita…”, timpal Dzakir. Kami pun tertawa.

Memang pernah pada suatu ketika. Rifai menabrak seorang gadis yang sedang menyeberang. Walau pelan, namun tak ayal membuat gadis tersebut tangannya patah. Karena waktu itu dalam kondisi mendesak, kami akhirnya memutuskan untuk urunan menutupi biaya operasi gadis tersebut. Sampai-sampai pada waktu itu Rama merelakan sebagian besar uang jatah bulanan dari beasiswanya. Memang gadis yang ditabrak Rifai wajahnya cukup manis bagi kebanyakan orang. Dengan alasan agar terlihat bertanggung jawab, Rifai sering menengok gadis yang ditabraknya itu. Gadis itu ternyata karyawati baru Fakultas MIPA dan bernama Reta. Karena sering bertemu, lama kelamaan mereka berdua pun jadian. Kata orang, itu sengsara membawa nikmat.

Pembicaraan kami mengenai Rama pun berlanjut. Sampai akhirnya kami sepakat, malam nanti kami akan menyidangnya beramai-ramai. Terlihat kasar memang, namun apa boleh buat. Hanya itulah alternatif penyelesaian yang tersisa. Tak lupa pula, lima kilogram ikan segar kami bawa sebagai oleh-oleh. Tentu bukan untuk untuk Reta, tetapi untuk Bu Ida, tetangga depan kami sekaligus pemilik rumah yang kami kontrak. Yang selama ini sudah kami anggap seperti ibu sendiri.

**

Bu Ida memang jago masak. Balado ikannya memang dahsyat. Tak terasa dua piring nasi sudah memenuhi perutku. Teman-teman yang lain juga sampai kekenyangan. Tinggal Rama saja yang belum mencicipi balado ikan Bu Ida. Bu Ida hanya senyam-senyum saja melihat kelakuan kami. Kebetulan waktu itu, Bu Ida mengajak kami makan di rumahnya. Beliau juga sempat menanyakan, mengapa Rama nggak ikut makan di tempatnya.

Seusai ngobrol sejenak, kami pun kembali ke kontrakan. Kelihatannya ini adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan rencana kami tadi siang. Memang pertama kali Rama terlihat malas sekali, namun karena kami memaksa akhirnya ia mau juga.

“Ma, kita ini berteman walau nggak begitu lama, tapi juga nggak bisa dihitung sebentar. Kita ini sudah seperti keluarga. Masalah satu orang, juga merupakan masalah bagi yang lain. Kita ini saling bantu. Jujur, kami merasa risih dan nggak nyaman dengan sikapmu akhir-akhir ini. Walau kamu masih tetap menjalankan tugas piket harian, tapi bukan hanya itu yang kami minta. Dengan sikpamu selama ini kami merasa semakin nggak nyaman tinggal di sini. Kayak ada orang lain saja yang tinggal di sini. Selama beberapa hari ini, kalau kamu pergi juga nggak pernah bilang kemana, pulang jam berapa. Pulang-pulang juga begitu, masukin sepeda, trus langsung ke kamar, baca buku, nggak keluar-keluar seharian. Keesokan harinya juga begitu, sepulang dari loper koran, mandi, trus plas… ilang entah kemana. Kayak nggak ada orang lain aja di sini.”, buka Rifai.

“Sebenarnya kamu ini kenapa? Ada masalah? Ngomong aja. Siapa tahu kita bisa bantu.”, tambah Ahmad.

Suasana berubah menjadi hening sejenak, Rama hanya bisa terdiam dan tertunduk lesu. Air mata terlihat mulai meleleh di pipinya. Dengan terbata ia menjawab, “Jujur, aku beberapa hari ini instropeksi diri. Aku merasa nggak enak dengan kalian. Selama ini aku nggak pernah ikut urunan bayar listrik dan air. Mungkin bagi kalian nggak papa, tapi aku merasa nggak enak. Trus kemudian beberapa hari yang lalu aku dapat kabar dari rumah. Tahun depan kelihatannya aku nggak bisa bayar kontrakan, karena nggak ada jatah dari orang tuaku. Uang jatah kontrakanku akan dipakai untuk biaya adikku yang mau masuk SMA. Aku bingung harus cari uang darimana untuk bayar uang kontrakan. Uang kiriman ditambah honor loper koran ditambah dengan jatah bulanan dari beasiswaku juga habis untuk makan sehari-hari. Sedangkan honor dari ngirim tulisan ke koran juga nggak tentu. Jujur, aku jadi bingung.”

“Ma, kami semua tahu bagaimana kondisi ekonomi keluargamu. Kami sudah maklum dengan itu. Kalau memang kamu nggak bisa urunan lagi untuk bayar kontrakan tahun depan, ya sudah, nggak papa. Santai aja. Kita-kita nggak keberatan kalau harus menutupi bagianmu. Untuk tahun depan, kamu nggak bisa urunan nggak papa. Kamu tetap tinggal di sini. Ntar bagianmu biar aku yang tanggung.”, timpal Ivan.

“Jujur, Van. Aku makin nggak enak sama kamu. Sepeda yang aku pakai sehari-hari itu juga punyamu. Trus ini ditambah kamu bayarin jatah kontrakanku. Itu uang orang tuamu, bukan uangmu.”, elak Rama.

“Ma, uang itu cuman titipan dari Tuhan. Bukan orang tuaku atau aku yang punya. Kamu nggak usah merasa nggak enak begitu. Toh semenjak tinggal serumah dengan kamu aku juga banyak belajar dari kamu. Bagaimana caranya bisa hidup prihatin dan hidup hemat. Jujur saja, mungkin kalau nggak kenal kamu, mungkin tabunganku nggak akan pernah sebesar seperti sekarang ini. Dulu sewaktu aku SMA, aku boros banget. Sehari aku bisa menghabiskan seratus ribu hanya untuk nongkrong nggak jelas ngapain dengan teman-temanku. Sekarang uang segitu bisa aku buat hidup selama tiga-empat hari. Itu juga karena kamu yang ngajari aku. Mana yang benar-benar kebutuhan, mana yang hanya sekedar keinginan, bagaimana menentukan skala prioritas. Apa yang aku pelajari dari kamu itu, kalau diuangkan nggak bakalan bisa keitung. Toh uang kiriman dari ortuku juga berlebih.”, jawab Ivan.

Pembicaraan kamipun mengalir, terlihat Rama sudah mulai semakin tenang. Rama yang ceria sudah mulai terlihat kembali. Bersahabat bukanlah bisnis, yang bisa dihitung secara matematis, apakah kita untung atau rugi. Persahabatan takkan pernah bisa dihitung dengan uang. Bersahabat adalah hubungan antar manusia yang paling tulus, tanpa pamrih. Dengan sahabatlah kita berbagi suka dan duka, dari sahabatlah kita belajar tentang kehidupan.

Malam itu kami berenam melaluinya dengan nonton bareng pertandingan sepakbola antara Arsenal melawan Tottenham Hotspur, the derby of North London. Untuk kali ini gantian Ahmad dengan Rifai yang bertaruh. Ahmad menjagokan Arsenal sedangkan Rifai merupakan penggemar berat Tottenham. Untuk kali ini, yang kalah bakalan dapat tugas masak untuk sarapan kita besok pagi.
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Catatan dari perjalanan

Jarum jam di dinding stasiun menujukkan pukul sembilan lewat. Pesan singkat yang aku kirimkan belum pula ia balas. Aku pun bingung. Kuputuskan saja untuk tetap menunggu di sini. Toh kami sudah berjanji akan bertemu di stasiun ini tepat pukul sembilan.
Tak lama kemudian, sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Ternyata dari dia. Ups, baru berangkat dari kos. Wah bisa lama menunggu aku di sini. Biarlah… Aku keluarkan sebuah buku dari tasku. Sekedar mengisi waktu daripada hanya diam menunggu.
Tak terasa lima belas halaman novel tulisan Ahmad Tohari telah kubaca ketika sosok itu muncul dengan senyumnya di pintu masuk stasiun. Walau tersenyum, tetap saja masih tergurat aura kesedihan. ”Ah, siapakah laki-laki bodoh itu yang meninggalkan perempuan semanis dirimu”, tanya dalam benakku.
”Dah lama nunggu mas?”, itulah kata pertama yang meluncur dari bibirmu.
”Ya…, semenjak aku mengirim sms tadi. Kok sudah nyampe, emang kosmu dimana? Bukannya Dermaga jauh?”, jawabku.
”Semalam aku nggak tidur kos kok, Mas. Aku tidur di tempat teman. Nyari suasana baru.”
”Oh…”, hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
Kami pun akhirnya berjalan keluar ke arah jalan raya. Kami putuskan untuk segera menuju Kampus IPB. Memang hari itu dia berjanji untuk mengantarkan aku untuk mengelilingi Kampus IPB. Ya…, sekedar alasan agar aku bisa berjalan-jalan dengannya.
Dari Stasiun menuju Kampus IPB ternyata cukup jauh. Harus naik angkot sampai dua kali. Pertama naik angkot warna hijau jurusan Terminal Bubulak. Dari Terminal Bubulak naik angkot warna biru jurusan Kampus Dalam. Total perjalanan memakan waktu sekitar tiga perempat sampai satu jam dari Stasiun ke Kampus IPB.
Tak banyak yang kami bicarakan selama di angkot. Sesekali aku hanya mencoba mencuri pandang ke arahnya. Ah…, ternyata hanya sampai sejauh itu keberanianku. Yang seketika merasa menjadi seorang pengecut.
Akhirnya kami sampai juga di Kampus IPB. Kampus yang cukup asri. Pohon-pohon besar ada di sana-sini. Aku langsung merasa nyaman. Suasana yang tak jauh berbeda dengan suasana kampusku. Perjalanan kami mulai dari fakultas tempat ia melanjutkan studinya, Fakultas Pertanian. Kemudian kami menyusuri Kampus ke arah utara. Sampai akhirnya ke Fakultas Kedokteran Hewan, melewati kompleks hutan kecil kampus, menyusuri danau, naik menuju kompleks Perpustakaan Universitas, dan akhirnya kembali lagi di Kompleks Fakultas Pertanian.
Tiba-tiba perutku mulai meronta. Meminta haknya untuk segera dipenuhi. Kami putuskan untuk makan siang di kantin. Menu yang kupilih, gado-gado plus es teh manis. Dia hanya memesan minuman saja.
”Nggak makan?”, tanyaku.
”Nggak, Mas. Nggak lapar.”
”Emang tadi pagi sarapan?”
”Iya, sedikit sih.”, jawabnya sambil berusaha mengembangkan senyum. Namun masih saja kesedihan tergurat jelas di wajahnya. Masih sangat jelas.
Ah…, seandainya aku boleh dan bisa menghapus sedih yang ada di dirimu. Apapun caranya itu, pasti akan kulakukan. Akupun semakin penasaran, laki-laki seperti apakah yang tega membuatmu seperti ini.

Sumber : http://www.burahol.com/2011/05/cerita-pendek.html

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Setiap Kemenangan Butuh Kesabaran

Diposting oleh violet
 Post to TwitterPost to Facebook


Di suatu sore, seorang anak datang kepada ayahnya yg sedang baca koran… “Ayah, ayah” kata sang anak…

“Ada apa?” tanya sang ayah…..
“aku capek, sangat capek … aku capek karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek…aku mau menyontek saja! aku capek. sangat capek…
aku capek karena aku harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja! … aku capel, sangat capek …
aku cape karena aku harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung…aku ingin jajan terus! …
aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati…
aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman teman ku, sedang teman temanku seenaknya saja bersikap kepada ku…
aku capek ayah, aku capek menahan diri…aku ingin seperti mereka…mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka ayah ! ..” sang anak mulai menangis…
Kemudian sang ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata ” anakku ayo ikut ayah, ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu”, lalu sang ayah menarik tangan sang anak kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang… lalu sang anak pun mulai mengeluh ” ayah mau kemana kita?? aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah krn ada banyak ilalang… aku benci jalan ini ayah” … sang ayah hanya diam.
Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu kupu, bunga bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang…
“Wwaaaah… tempat apa ini ayah? aku suka! aku suka tempat ini!” sang ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.
“Kemarilah anakku, ayo duduk di samping ayah” ujar sang ayah, lalu sang anak pun ikut duduk di samping ayahnya.
” Anakku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? padahal tempat ini begitu indah…?”
” Tidak tahu ayah, memangnya kenapa?”
” Itu karena orang orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tau ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu”
” Ooh… berarti kita orang yang sabar ya yah? alhamdulillah”
” Nah, akhirnya kau mengerti”
” Mengerti apa? aku tidak mengerti”
” Anakku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi… bukankah kau harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus sabar melawati ilalang dan kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga… dan akhirnya semuanya terbayar kan? ada telaga yang sangatt indah.. seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? kau tidak akan mendapat apa apa anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku”
” Tapi ayah, tidak mudah untuk bersabar ”
” Aku tau, oleh karena itu ada ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat … begitu pula hidup, ada ayah dan ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu, tapi… ingatlah anakku… ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri… maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri… seorang pemuda muslim yang kuat, yang tetap tabah dan istiqomah karena ia tahu ada Allah di sampingnya… maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang… maka kau tau akhirnya kan?”
” Ya ayah, aku tau.. aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini … sekarang aku mengerti … terima kasih ayah , aku akan tegar saat yang lain terlempar ”
Sang ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nilai Diri Kita

Diposting oleh violet
  Post to TwitterPost to Facebook


Pada suatu ketika, di sebuah taman kecil ada seorang kakek. Di dekat kaket tersebut terdapat beberapa anak yang sedang asyik bermain pasir, membentuk lingkaran. Kakek itu lalu menghampiri mereka, dan berkata:

“Siapa diantara kalian yang mau uang Rp. 50.000!!” Semua anak itu terhenti bermain dan serempak mengacungkan tangan sambil memasang muka manis penuh senyum dan harap. Kakek lalu berkata, “Kakek akan memberikan uang ini, setelah kalian semua melihat ini dulu.”

Kakek tersebut lalu meremas-remas uang itu hingga lusuh. Di remasnya terus hingga beberapa saat. Ia lalu kembali bertanya “Siapa yang masih mau dengan uang ini lusuh ini?” Anak-anak itu tetap bersemangat mengacungkan tangan.
“Tapi,, kalau kakek injak bagaimana? “. Lalu, kakek itu menjatuhkan uang itu ke pasir dan menginjaknya dengan sepatu. Di pijak dan di tekannya dengan keras uang itu hingga kotor. Beberapa saat, Ia lalu mengambil kembali uang itu. Dan kakek kembali bertanya: “Siapa yang masih mau uang ini?”
Tetap saja. Anak-anak itu mengacungkan jari mereka. Bahkan hingga mengundang perhatian setiap orang. Kini hampir semua yang ada di taman itu mengacungkan tangan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Si Pandai dan Sang Sahabat

Diposting oleh violet
  Post to TwitterPost to Facebook


Si PANDAI dengan langkah tegap menyusuri jalan setapak, menuju sebatang pohon besar yg rindang….. disana tampak sosok pribadi yg dikenalnya, dan si PANDAi pun menghampiri pribadi itu.

Si Pandai: maaf kisanak, sepertinya aku mengenalmu, apa kita pernah bertemu ?
Sang Sahabat: saudaraku, aku sahabat masa keciLmu, sahabat di desa tempat kelahiran kita.
Si Pandai: ah, sekampung kita rupa nya… bagaimana keadaan kampung kita ?
Sang Sahabat: saudaraku, aku meninggalkan kampung halaman bersamaan dgn ketika kamu berangkat ke kota ini.
Si Pandai: oh begitu, apa saja yg sudah kau dapatkan di kota ini?
Sang Sahabat: kamu sendiri bagaimana ?
Si Pandai: ya, kota ini telah memberikan segala keLimpahan kemewahan yg menyenangkan kepadaku…
Sang Sahabat: oh begitu, bagaimana cara nya ?
Si Pandai: ah, kemana saja kamu ini, di kota ini apa sih yg tidak mungkin kudapatkan ? asal aku mau menyenangkan mereka, dengan sedikit saja basa basi dunia… mereka pun akan memberikan lebih kepada ku.
Sang Sahabat: apapun cara nya ?
Si Pandai: ah, jangan sok alim lah… aku pun tidak memakannya sendirian, yg kulakukan ini mata rantai yg tidak merugikan siapa pun… mereka senang, aku senang, buktinya mereka pun selalu menyanjung ku…
Sang Sahabat: apa kau yakin, tidak ada yg dirugikan ?
Si Pandai: yaaah… kaLopun ada tapi sedikit lah…itu pun mereka yg mau, lagipula aku sudah berikan banyak hartaku utk mereka…
Sang Sahabat: apa kamu lupa dengan batas waktu mu ?
Si Pandai: ah, itu soal nanti lah…gak perlu dipusingkan, mereka selalu mendo’akan ku… dan aku pun selalu siap utk bertobat jika batas waktuku akan habis…
Sang Sahabat: bgmn kau tahu waktu mu akan seLesai ?
Si Pandai: yah…biasanya setelah kita terbaring sakit. Nah kisanak, kamu sendiri bagaimana ?
Sang Sahabat: saudaraku, sebelum hari ini aku selalu ada bersama mu… tapi kamu tak meLihat ku dan tak pernah mau mendengarkan aku. Hari ini, aku harus tertahan di pohon besar ini, menunggu cerita yg harus aku seLesaikan…bersamamu !!!
Si Pandai: oh ?! maksud mu ???
Sang Sahabat: saudaraku, lihat dibelakang-mu….. batu nisan mewah itu….. bertuLiskan namamu…..!
Sahabat, seringkali kita terlena dengan kehidupan yang bergulir ini. Detik demi detik hingga masa demi masa kita lewati, tanpa sadar ada banyak terminal-terminal dalam kehidupan ini yang kita lalui. Sejenak mari kita renungkan apa arti kehidupan kita di dunia ini. Sekedar mencari nafkahkah? atau kebahagian bersama orang-orang yang kita cintai.
Sahabat, mumpung masih ada waktu. Mari kita berbagi dengan mereka orang-orang yang kita cintai, dan orang-orang yang mencintai kita. Lakukanlah apa yang ingin anda lakukan  supaya penyesalan tiada menghampiri kita sebelum datang waktu yang menjadi rahasia kehiduapn kita.
Saya yakin, kalau setelah mati kita akan memperoleh balasan akan apa yang kita perbuat. oleh karena itu, persiapkanlah sejak kini. Carilah bekal dan berikan kebahagiaan kepada orang-orang disekitar kita.
Cerita kiriman dari saudara tegoeh kusuma <tegoehkusuma@**.*******>
Sahabat tegoeh kusuma, Terima kasih atas kiriman ceritanya.

Sumber:  http://blog.unsri.ac.id/violet/pandangan-hidup/si-pandai-dan-sang-sahabat/mrdetail/42198/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Susunan Kehidupan

Diposting oleh violet
  Post to TwitterPost to Facebook

Suatu sore, Zahra sedang duduk bersama ayahnya di ruang keluarga. Keduanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Zahra, gadis kecil berumur 5 tahun itu sedang bermain dengan buku gambarnya. Sedang sang ayah, tampak tekun membaca majalah.

Sesaat kemudian, Zahra mendekati ayahnya. Ia lalu bertanya, “Ayah, ini gambar apa? Belum selesai ayahnya menjawab, Zahra kembali bertanya, “Kok, hewan ini ada buntutnya? Sang Ayah, dengan sabar menjelaskan semuanya. Disisihkannya majalah di tangannya dan dipeluknya Zahra.

Beberapa lama berselang, Ayah lalu berkata, “Baik, kalau sudah selesai, ayo teruskan saja sendiri ya, sayang. Ayah sibuk. Zahra pun kembali ke tempatnya semula.
Namun, belum lima menit usai, Zahra kembali datang dan bertanya banyak hal. Dia mengoceh tentang hewan, hingga hal-hal yang diluar khayalan. Ayah pun mulai tampak segan dengan semua pertanyaan itu. Sebab, ia ingin sekali menyelesaikan bacaannya. “Ah, kalau saja aku bisa menyibukkan anak ini dengan pekerjaan lain, ” gumam Ayah,” tentu, ia tak akan membuatku repot. Begitu pikirnya dalam hati.
Aha, Ayah pun menemukan ide. Diambilnya gambar rumah dari sebuah majalah lama. Dan diguntingnya gambar itu menjadi beberapa bagian. Ia ingin membuat puzzle!. Tentu, anak umur 5 tahun, akan sulit sekali menyusun puzzle yang bergambar rumah. Ia lalu berkata pada Zahra yang sejak tadi memperhatikannya.
” Zahra, sekarang Ayah punya permainan. Ayo, coba susun kembali kertas ini jadi gambar rumah. Nanti, kalau sudah selesai, baru kamu boleh kembali ke sini. (–Hmm..tenanglah aku sekarang. Aku akan bisa menyelesaikan bacaanku, dan ia pasti akan sibuk sekali dengan pekerjaan ini, begitu gumam ayah.–)
Tiba-tiba. “Aku sudah selesai!” Belum 5 menit berlalu, kini, Zahra sudah kembali dengan susunan gambar rumah itu. Ayah pun bingung, bagaimana bisa ia menyelesaikan tugas yang sulit itu? Ayah lalu bertanya, “Bagaimana caranya kamu menyusun gambar rumah ini? Pasti kamu minta tolong Bunda deh.”
Mata bulat gadis itu berbinar, “Nggak kok. Aku membuatnya sendiri. Sebab, dibalik gambar ini, ada gambar boneka kesukaanku. Jadi, aku menyusun gambar itu saja. Ini, gambar bonekaku, aku senang sekali dengannya.
Sang Ayah pun terdiam. Ia kalah, dan harus siap kembali menerima semua ocehan gadis kecilnya ini.
***
Sahabat, seringkali, kita menganggap anak-anak dengan naif. Kita kerap meremehkan pola pikir yang mereka miliki. Kita, yang sok dewasa, sering berpendapat, anak kecil, bukanlah guru yang terbaik buat kehidupan. Mereka semua hanyalah penganggu, dan sesuatu yang selalu mengusik setiap ketenangan.
Namun sayang, kita kerap salah. Dan Zahra, bisa jadi membuktikannya. Kita, seringkali menganggap dunia ini sebagai sesuatu yang sulit. Dunia, dalam pikiran kita, adalah potongan gambar-gambar yang tak runut. Potongan-potongan itu pulalah yang kita susun dengan perasaan takut. Dunia, bagi kita, adalah tempat segala masalah bersatu. Dan kita merangkainya dengan hati penuh pilu.
Dengan kata lain, dunia, bagi kita, adalah layaknya benang kusut, yang penuh dengan keruwetan, ketakteraturan, dan kesumpekan. Dunia, bagi kita yang mengaku dewasa, adalah amarah, angkara, dengki, dan dendam, iri dan maki serta tangis dan nestapa.
Padahal, kalau kita mau menjenguk sisi lain dunia, ada banyak keindahan yang hadir disana. Ada banyak kenyamanan dan kesenangan yang mampu diwujudkannya. Ya, asalkan kita mau menjenguknya, melihat dengan lebih tekun dan jeli. Mencermati setiap bagian dari dunia yang kita sukai.
Jalin-jemalin kenyamanan yang dapat dirangkai dalam dunia, adalah sesuatu yang indah. Disana akan kita temukan kesejukan, ketenangan, kesunyian, keteraturan, keterpaduan dan segalanya, asalkan kita mau menjenguknya.
Jadi, mana potongan gambar dunia mana yang akan Anda susun? Dunia yang penuh angkara, atau dunia yang penuh cinta? Dunia yang penuh duri, atau dunia yang penuh peduli? Anda sendirilah yang akan menyusun potongan-potongan gambar itu. Susunan yang Anda pilih, akan membentuk kehidupan Anda.
Selamat menyusun potongan hidup Anda!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Keteguhan

Diposting oleh violet Post to TwitterPost to Facebook



Ketika Raja Louis XVI digulingkan dari takhtanya dan dijebloskan ke dalam penjara, puteranya yang merupakan pangeran penerus takhta kerajaan diculik oleh orang-orang yang mengkudeta kerajaan.
Sang pangeran dihadapkan pada hal-hal yang paling menjijikan secara moral. Mereka pikir, jika sang pangeran terpengaruh pada godaan duniawi maka ia tidak akan bisa mencapai takdirnya sebagai raja.
Setiap hari, sang pangeran disuguhi berbagai makanan yang mewah yang jumlahnya sangatlah banyak, minuman anggur, para pelacur yang sangat erotis, bahkan kata-kata jorok dan kasar yang tidak layak diucapkan oleh bangsawan seperti dia.
Hari berganti hari, hingga akhirnya setelah enam bulan, mereka menyerah. Sang pangeran ternyata tidak tergoda sedikit pun terhadap godaan dunia. Mereka pun bertanya kenapa sang pangeran begitu teguh. Sang pangeran berujar, ”Aku tidak mungkin melakukan hal-hal menjijikan seperti itu, karena sejak dilahirkan Aku telah ditakdirkan sebagai seorang raja“.
Kita harus mempunyai keteguhan dalam mempertahankan impian kita. Tidak dapat dimungkiri bahwa perjalanan menuju ke tangga sukses penuh onak dan duri.
Lantas bagaiamana kita bisa memiliki keteguhan? Yang terpenting kita harus mempunyai paradigma atau citra diri yang positif kepada diri kita. Siapakah kita? Apa takdir kita di dunia ini?
Diri Anda andalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. Takdir Anda adalah mengabdikan dirinya. Menyerukan namanya di dunia ini. Apapun impian Anda, berjuanglah atas nama Dia. Maka, rintangan apapun tidak akan bisa menghalangi Anda.
Jika Dia hendak mengangkat Anda, tidak ada seorang pun yang bisa menjatuhkan Anda. Begitupun jika Dia hendak menjatuhkan Anda, maka tak seorang pun di dunia ini yang bisa mengangkat Anda.

Sumber: http://blog.unsri.ac.id/violet/pandangan-hidup/keteguhan/mrdetail/42199/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS