January 3, 2012 by henrigun2680
Radio merupakan salah satu teman yang selalu menemani
saya ketika sedang mengerjakan tugas, belajar, maupun santai.
Tidak pernah bosan rasanya mendengarkan acara-acara yang disajikan
oleh berbagai macam stasiun radio. Suatu malam, di sebuah stasiun
radio, sedang berlangsung acara dimana orang-orang berbagi pengalaman
hidup mereka. Perhatian saya yang semula tercurah pada tugas-tugas
kantor beralih ketika seorang wanita bercerita tentang ayahnya.
Wanita ini adalah anak tunggal dari sebuah keluarga sederhana yang
tinggal di pinggiran kota Jakarta. Sejak kecil ia sering dimarahi
oleh ayahnya. Di mata sang ayah, tak satupun yang dikerjakan olehnya benar.
Setiap hari ia berusaha keras untuk melakukan segala sesuatu
sesuai dengan keinginan ayahnya, namun tetap saja hanya ketidakpuasan
sang ayah yang ia dapatkan. Pada waktu ia berumur 17 tahun,
tak sepatah ucapan selamat pun yang keluar dari mulut ayahnya.
Hal ini membuat wanita itu semakin membenci ayahnya. Sosok ayah
yang melekat dalam dirinya adalah sosok yang pemarah dan tidak
memperhatikan dirinya. Akhirnya ia memberontak dan tak pernah
satu hari pun ia lewati tanpa bertengkar dengan ayahnya.
Beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-17, ayah wanita itu
meninggal dunia akibat penyakit kanker yang tak pernah ia
ceritakan kepada siapapun kecuali pada istrinya. Walaupun
merasa sedih dan kehilangan, namun di dalam diri wanita itu
masih tersimpan rasa benci terhadap ayahnya.
Suatu hari ketika membantu ibunya membereskan barang-barang
peninggalan almarhum, ia menemukan sebuah bingkisan yang
dibungkus dengan rapi dan di atasnya tertulis “Untuk Anakku
Tersayang”. Dengan hati-hati diambilnya bingkisan tersebut dan mulai
membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah jam tangan dan sebuah buku
yang telah lama ia idam-idamkan. Di samping kedua benda itu, terdapat
sebuah kartu ucapan berwarna merah muda, warna kesukaannya. Perlahan
ia membuka kartu tersebut dan mulai membaca tulisan yang ada
di dalamnya, yang ia kenali betul sebagai tulisan tangan ayahnya.
“Ya Tuhan, Terima kasih karena Engkau mempercayai diriku
yang rendah ini Untuk memperoleh karunia terbesar dalam hidupku.
Kumohon Ya Tuhan, Jadikan buah kasih hambaMu ini Orang yang
berarti bagi sesamanya dan bagiMu. Jangan kau berikan jalan yang
lurus dan luas membentang. Berikan pula jalan yang penuh liku dan
duri Agar ia dapat meresapi kehidupan dengan seutuhnya. Sekali
lagi kumohon Ya Tuhan, Sertailah anakku dalam setiap langkah
yang ia tempuh. Jadikan ia sesuai dengan kehendakMu Selamat
ulang tahun anakku, Doa ayah selalu menyertaimu”.
Meledaklah tangis sang anak usai membaca tulisan yang terdapat
dalam kartu tersebut. Ibunya menghampiri dan menanyakan apa yang
terjadi. Dalam pelukan ibunya, ia menceritakan semua tentang
bingkisan dan tulisan yang terdapat dalam kartu ulang tahunnya.
Ibu wanita itu akhirnya menceritakan bahwa ayah memang sengaja
merahasiakan penyakitnya dan mendidik anaknya dengan keras agar
sang anak menjadi wanita yang kuat, tegar dan tidak terlalu
kehilangan sosok ayahnya ketika ajal menjemput akibat penyakit
yang diderita…
Pada akhir acara, wanita itu mengingatkan para pemirsa agar
tidak selalu melihat apa yang kita lihat dengan kedua mata kita.
Lihatlah juga segala sesuatu dengan mata hati kita. Apa yang kita
lihat dengan kedua mata kita terkadang tidak sepenuhnya seperti
apa yang sebenarnya terjadi. “Kasih seorang ayah, seorang ibu,
saudara-saudara, orang-orang di sekitar kita, dan terutama kasih
Tuhan dilimpahkan pada kita dengan berbagai cara. Sekarang tinggal
bagaimana kita menerima, menyerap, mengartikan dan membalas kasih
sayang itu”, kata wanita tersebut menutup acara pada malam hari itu.
Jika Anda tersentuh dengan cerita di atas, tolong “share” cerita ini ke teman-teman yang lain agar mereka juga dapat memetik hikmah yang ada pada cerita di atas. Semoga dapat bermanfaat bagi kehidupan kita, terimakasih.
Sumber: http://kisahkisah.com/677/kasih-seorang-ayah/
0 komentar:
Posting Komentar